Juli 05, 2011

The Power of Time Capsule

Cerita ini hanyalah fiksi. Hanyalah tuangan dari imajinasi gue. Please enjoy this story.
By: Wang Xiang Lin / Jocelinda Avelina.
 The power of time capsule
1
           
“Ma, aku main dulu ya?” seorang anak kecil imut dengan rambut terikat rapi, pipinya yang merah merona, memakai dress berwarna hijau toscha dan membawa sebuah tas ransel putih di punggungnya.
“Nona Park, bisa anda temani AeRi?” seorang wanita dewasa cantik yang benar – benar memiliki aura kaya dilihat dari sudut manapun. Aku berjalan menuju taman dengan penjagaku. Taman bunga dengan sebuah rumah pohon besar yang bagus. Rumah pohon itu fasilitas umum, tapi tak pernah ada yang memakainya. Jadi, hanyalah aku dan temanku Gerry yang memakainya.
“Gerry?” aku menyapa Gerry dari atas rumah pohon.
“Hai? Aku naik ya?” Gerry menaiki tangga kayu yang hanya dipakukan di pohon besar.
“Lihat ini.” Aku menyuruh Gerry melihat barang – barang yang ada di meja. Kertas – kertas warna – warni, bolpoint warna, botol kaca, tutup gabus, kotak sepatu dan banyaknya hiasan – hiasan pita berwarna.
“Untuk apa ini semua?” Gerry bertanya bingung.
“Kita buat time capsule ya? Tulis semua harapan kamu disini, begitu juga aku. Kita kubur ini, dan hanya boleh dibuka apabila kita bertemu lagi.” aku menjelaskan.
“Bertemu lagi? Maksud kamu?”
“Tidak apa – apa. Ayo tulis.” Aku membelokan pertanyaan dari Gerry. Setelah beberapa lama, akhrnya selesailah time capsule itu. Gerry mengubur kotak itu dan memberikan bunga di atasnya.
“Janji ya? Kalau kita mau buka time capsule ini, kita harus bersama.” Gerry memastikan sambil meyodorkan jari kelingkingnya.

2

“Pagi?”seorang anak kecil imut kini berubah menjadi seorang gadis cantik berkulit putih, dengan rambut yang keriting menggantung halus berwarna coklat terang. Matanya yang coklat, hidung mancung, melengkapi dirinya yang menggunakan seragam abu sekolahan. Sekolah yang bagus dengan pilar – pilar menjulang di tiap sudut.
“AeRi? Nih nomor telepon Kim Hyuk, dia ingin kamu meneleponnya.” Jenna seorang teman yang baru kukenal di grade ini menyodorkan sebuah amplop merah kepadaku sambil tersenyum.
“Kim Hyuk? Siapa dia?”
“Dia masih sepupuku, tapi kalau kamu merasa tidak cocok, jangan segan menolaknya. Jangan berarti karena aku adalah saudaranya, kamu jadi mera…”
“Aku mengerti.” aku menyela Jenna yang belum selesai bicara dan membuka amplop itu.
Hai? Bisa aku menemuimu? Maaf ya aku tidak bicara langsung, aku titip ini pada Aeri sepupuku, karena aku belum berani kalau langsung mengatakannya. Temui aku pukul 19.00 hari ini di taman dekat sekolahmu. Telepon aku begitu kamu sampai. Ini nomorku.xxx-xxx-xxx-xx
~Kim Hyuk~
Aku langsung memasukkan surat itu dalam tasku sesaat setelah aku tahu bahwa guruku telah memasuki ruangan kelas. Biasanya, pelajaran – pelajaran kulewati dengan baik. Aku memiliki konsentrasi yang baik. Bahkan bila kau menyuruhku belajar di tengah – tengah pasar grosir. Tapi kali ini aku malah memikirkan nama Kim Hyuk. Nama itu memang asing tapi dari caranya menulis surat itu sama dengan salah satu teman dekatku dulu. Sebuah jam besar di depan kelas menunjukkan pukul 14.00 dan bel pulang sekolah segera dibunyikan. Seluruh siswa membereskan semua barang ke dalam tas mereka.
“Jenna? Apa sepupumu itu pernah tinggal di komplek elite di dekat area ski?” aku bertanya  langsung pada Jenna.
“Kurasa begitu. Kim Hyuk adalah nama baru setelah ia bangun dari komanya. Dulu ia bernama Gerry. Tapi, setelah kecelakaan motor 4 tahun lalu, kami sekeluarga memutuskan untuk merubah seluruh jalan hidupnya, Maaf. Kamu setidaknya harus tahu, dia bukan dari keluarga harmonis.” Jenna menjelaskan.
“Gerry? Oh, begitu rupanya. Kenapa dia mau bisa bertemu aku?”
“Kemarin dia ke rumahku untuk menitipkan surat ini. Dia sedikit cerita, dia melihatmu di acara amal untuk anak – anak yatim 1 minggu yang lalu. Dia senang melihatmu disana waktu kamu bersama anak – anak. Katanya sih senyum kamu itu yang membuat Kim Hyuk ingin menemui.” Jenna menjelaskan sambil tersenyum jahil.
“Kamu ini, bisa saja. Baiklah, bisa kamu bilang ke dia kalau aku mau menemuinya?”
“Bisa. Tapi, biasanya kamu tidak pernah mau untuk bertemu dengan orang – orang yang tiba – tiba ingin mengenalmu?”
“Aku rasa dia punya hidup yang penuh dengan sakit hati. Aku mau seandainya dia bisa menganggapku temannya.”
“Tapi, aku minta satu hal. Jangan mengorek masa lalunya, ya?” Jenna memohon kepadaku.

3

Aku berjalan menuju lobby sekolah dan memasuki sebuah mobil sedan hitam mewah untuk antar jemputku kemanapun yang diberikan orangtuaku. Di mobil aku makin tidak bisa berkonsentrasi, aku terus memikirkan laki – laki yang Jenna bilang dia adalah Gerry. Dulu, aku punya teman di komplek lama saat aku berumur 11 tahun. Aku hanya tinggal selama 1 tahun disana tapi, aku punya kenangan disana bersama temanku. Dia juga bernama Gerry, keluarganya yang kaya tapi tidak harmonis sama sekali. Itu sama dengan apa yang Jenna bilang. Tapi, aku masih belum bisa percaya kalau Gerry kecelakaan sampai koma. Walaupun sampai sekarang dia tidak pernah bisa dikontak.
“Nona Park? Bisa putar arah ke komplek rumah yang lama?” aku langsung menyuruh asistenku yang selalu menjagaku  untuk memutar arah. Sebuah komplek dengan rumah – rumah mewah sama seperti dulu. Persis sekali sampai saat ini. Tak ada yang berubah. Asistenku memarkirkan mobil di depan rumah lamaku. Aku keluar dari mobil dan berjalan menuju taman di dekat rumah lama itu. Aku memasuki area taman bunga, disitu ada satu rumah pohon umum yang terlihat sudah bobrok. Aku ingat, saat berumur 11 tahun, aku dan Gerry pernah membuat sebuah time capsule. Aku mengoreh tanah di bawah rumah pohon itu dan aku menemukannya. Sebuah kotak berwarna hijau dengan tulisan time capsule hasil karyaku dan Gerry. Aku membuka kotak itu dan ternyata, botol kaca berisi semua harapan bersama masih utuh.
“Janji ya? Kalau kita mau buka time capsule ini, kita harus bersama.” Aku ingat kata – kata Gerry 5 tahun yang lalu. Aku kembali memasukkan kotak itu dalam tanah dan menguburnya kembali.
“Darimana saja kamu?” Mama bertanya padaku saat melihatku pulang terlalu sore.
“Dari komplek kita waktu itu. Ada yang tertinggal disana. Ma, boleh aku bertanya?”
“Boleh, apa itu?”
“Apa papa Gerry masih memegang saham di hotel kita?” aku bertanya.
“Untuk apa kamu bertanya itu?” Mama langsung berdiri seakan – akan menutupi sesuatu.
“Aku hanya bertanya saja.”
“Mama ada rapat pemegang saham dengan papa selama 5 bulan penuh. Tepatnya kami pulang saat kamu kelulusan. Jadi, kamu tinggal belajar dan jaga dirimu.” Mama bukan menjawab pertanyaanku. Mama malah membelokan pertanyaanku. Mama langsung berangkat ke bandara setelah menjemput papa. Mama akan pergi untuk rapat dan promosi. Belum lagi untuk mencari bisnis baru.
Pukul 18.00 tiba, aku yang sedang belajar segera menutup buku dan pergi ke ruang pakaian. Sebuah ruang berisis seluruh koleksi baju – baju, sepatu – sepatu, perhiasan, dan tas. Aku memilih sebuah dress berwarna kuning muda dan stocking berwarna coklat tua yang hamper terlihat transparant. Aku memakainya di dalam sebuah trenchcoat coklat muda dan sling bag warna kuning. Anting – anting berpita putih, kalung dengan batu bewarna putih, dan gelang mutiara putih pun melengkapi penampilanku hari itu. Aku keluar dari kamar, dan menuju ke arah ruang tamu. Aku memakai sepatu stiletoku dan segera berjalan keluar rumah. Nona Park telah siap dengan mobil dan mengantarku ke taman. Di perjalanan aku segera memasukka nomor Kim Hyuk ke handphoneku. Aku tidak meneleponnya. Aku hanya memberinya sebuah pesan.
Kurang lebih 5 menit lagi aku sampai di taman. Aku memakai baju kuning. Atau kamu bisa telepon aku kalau kamu sulit mencariku.
~AeRi~
Nona Park telah pulang, dan aku menyuruhnya beristirahat di rumah. Aku duduk menunggu di kursi dekat dengan tempat  burung – burung bertengger di siang hari. Tak lama kemudian aku melihat seorang laki – laki dengan kaos V neck putih dan memakai trenchcoat biru tua tepat di depanku.
“AeRi?” laki – laki itu menyapaku alih – alih dia memastikan apakah aku AeRi.
“Gerry?” aku tanpa sengaja menyebut nama itu setelah melihat wajahnya. Wajahnya tak berubah dari dulu walaupun modelnya berpakaian sekarang jauh lebih dewasa. Tatanan rambutnya pun berubah.
“Hai? Kamu janji dengan berapa orang hari ini? Aku Kim Hyuk.” Hyuk terlihat bingung dan menjawab sambil tersenyum.
“Oh, Kim Hyuk, maaf kamu mirip dengan ….” Belum selesai bicara aku ingat bahwa Aeri melarangku untuk mengorek masa lalunya atu bahkan hanya sekedar memberikan clue.
“Siapa?” Hyuk bertanya penasaran.
“Oh, tidak ada. Duduk?” Min Hye menyuruh Hyuk duduk di samping kursi panjangnya itu.
“Terimakasih ya? Kamu sudah mau bertemu denganku?”
“Iya, tidak masalah.”
“Aku merasa semangat kesini setelah Aeri bercerita padaku.”
“Apa yang ia ceritakan?” aku segera bertanya takut bahwa Jenna teman yang baru  kukenal menceritakan yang tidak sebenarnya.
“Dia bilang bahwa kamu tidak pernah sebelumnya mau meluangkan waktumu bertemu bahkan berkenalan dengan siapapun yang mengejarmu.”
“Oh, begitu? Baguslah.” Aku benar – benar merasa lega setelah tahu bahwa Jenna bukanlah tipe yang menjerumuskan orang lain bahkan yang baru ia kenal.
“Kenapa kamu mau berkenalan denganku?” Hyuk segera bertanya lagi.
“Kamu lupa aku?” AeRi yang lagi – lagi lupa untuk menjaga mulutnya.
“Aku ingat kamu waktu kita bertemu di acara amal.”
“Iya benar.” AeRi segera lega dan langsung memukul kepalanya.
“Kamu lucu! Tidak pernah aku bertemu dengan perempuan yang bisa begini sama laki – laki. Semua perempuan pasti terlalu menjaga siapa dirinya. Agar tidak terlalu diketahui.” Hyuk membuat pernyataan yang membuat AeRi melepaskan pandangan konsentrasinya dan meneteskan air matanya. AeRi teringat saat ia mengatakan hal yang sama saat aku akan pindah rumah.
“Aku salah bicara?” Hyuk segera mengeluarkan sapu tangannya dan menghapus air mataku.
“Tidak – tidak, ini karena aku merasa ngantuk.” AeRi membelokkan.

4

Tak lama kemudian Hyuk dan Aeri meninggalkan taman, Hyuk mengajak Aeri jalan – jalan.
“Aku lapar. Makan yuk?” Hyuk mengajakku.
“Boleh.” Aku menyetujuinya, dan Hyuk mengajakku ke sebuah restoran daging sapi di sudut taman. Sebuah restoran mewah yang waktu kecil sering kudatangi bersama Hyuk dan keluarganya saat acara pembahasan pemegangan saham perusahaan keluargaku.
“Aaaaa,” Hyuk membungkus daging dalam selada dan menyuruhku membuka mulutku.
“Ini terlalu besar.” Aku langsung membungkus 3 daging dengan selada paling besar.
“Ini keterlaluan.” Hyuk menyela.
“Aaaaa,” Hyuk hanya membuka mulutnya pasrah dan mengunyahnya. Aku tertawa melihat pipinya menjadi besar untuk mengunyah bungkusan itu. Selama 1 jam berada di dalam restoran, Hyuk dan aku telah selesai makan, kami meninggalkan restoran itu.
“Kamu kuantar pulang ya?” Hyuk menawarkan.
“Apa tidak merepotkan?” aku bertanya pada Hyuk yang sedang mengeluarkan kunci mobilnya.
“Tidak. Aku malah akan senang bila kamu mau kuantar.” Hyuk tersenyum. AeRi masuk ke dalam mobil dan mobil segera berjalan.
“Dimana rumahmu?” Hyuk bertanya.
“Di depan sana belok ke kanan.” Aku mengarahkan jariku menuju jalanan di depan. Selama di jalan, aku tidak berbicara apapun, begitu juga Hyuk. Ponselku bergetar yang menandakan sesuatu masuk. Entah itu sebuah pesa, e-mail, ataupun peringatan. Kali ini adalah sebuah pesan teks.
Bagaimana? Apa dia baik – baik saja? Dia benar – benar meyukaimu, AeRi.
~Jenna~
“Boleh aku bertanya?” Hyuk tiba – tiba bertanya.
“Tanyakan saja.” Aku hanya menjawab singkat.
“Apa sebelumnya kita pernah bertemu. Bukan di acara amal. Aku sepertinya sering melihatmu.” Hyuk bertanya. Aku tak tahu harus jawab apa. Aku benar – benar tidak boleh mengorek masa lalunya.
“Mungkin pernah, aku juga merasa kenal denganmu.” Aku hanya menjawab asal.
“Entahlah.” Hyuk hanya menanggapi singkat dan menghentikan mobilnya di depan rumahku.
“Terima kasih ya?” kataku sambil membuka safetybelt.
“Aku yang harus bilang itu. Kamu bisa terbuka sama aku itu sudah cukup. Bisa kita sering bertemu?” Hyuk memohon.
“Kapan saja.” Aku menjawab dan turun dari mobil. Mobil itu segera berjalan dan Hyuk melambaikan tangannya dari jendela mobilnya.
“Bye Gerry.” Aku hanya melambaikan tangan dan berbisik pelan.

5

            Keesokan harinya di sekolah, Jenna menghampiriku yang baru turun dari mobil.
“AeRi, ceritakan padaku.” Jenna bertanya semangat.
“Kemarin itu aku benar – benar merasa senang dan nyaman bersamanya. Entah kenapa. Tapi, bisa aku cerita padamu, apalagi kalau kamu bisa membantuku.” Aku berniat menceritakan segalanya.
“Ceritakan saja. Barangkali aku nbisa bantu kamu.” Jenna dan aku berjalan menuju taman sekolah.
“Kemarin dia bilang di pernah melihatku sebelumnya. Bahkan sebelum acara amal.” Aku memulai pembicaraan.
“Apa kamu pernah ada di masa lalunya, mungkin sekitar 6-4 tahun yang lalu?” Jenna langsung memberikan pertanyaan.
“Iya, waktu itu, dia adalah teman baik saat aku kecil. Kami satu komplek.” Aku menjelaskan pada Jenna.
“Tunggu, apa kamu yang selalu menemaninya di rumah pohon?” Jenna langsung bertanya.
“Kamu bisa tahu darimana?” aku hanya kaget begitu Jenna seakan – akan tahu segalanya.
“Kemarin malam, Hyuk bercerita bahwa saat dia bertemu, dia tiba – tiba teringat sebuah rumah pohon dan kotak hijau.” Jenna mulai meneliti.
“Iya, tepat sekali. Aku memang temannya yang waktu itu. Apa dia ingat semuanya?” aku bertanya pada Jenna.
“Entahlah dia tak lagi menceritakannya setelah dia merasa pusing.” Jenna memberitahuku.
“Parahkah?”
“Aku tidak begitu tahu, dia menyuruhku meninggalkannya sendiri.” Jenna menjelaskan.
“Tunggu aku mendapat pesan.” Aku membuka ponselku yang bergetar.”
“Ini Hyuk!” aku langsung membukanya.
Aku mau bicara. Pulang sekolah aku akan langsung menjemputmu di sekolah. Ada sesuatu yang penting. Jangan lupa ya?
~Kim Hyuk~
“Apa ini?” Jenna yang ikut membaca, merasa bingung dengan teks yang dikirim Hyuk.
“Aku juga belum tahu pasti. Tapi, apa mungkin saat Hyuk menyuruhmu pergi, Hyuk mengingat segalanya?” aku langsung mengeluarkan prasangka itu dari mulutku.
“Entahlah. Kamu harus temui dia, tenangkan dia apabila dia mulai merasa pusing atau bahkan terlalu emosi.” Jenna mengingatkanku.
            Lagi – lagi pelajaran kelas dimulai. Seorang guru matematika memasuki ruangan dan mulai mengajar.
“Nona Jeong? Bisa anda kerjakan soal ini?” guru itu berjalan ke arah tempat dudukku dan menyodorkan sebuah spidol hitam besar. Aku hanya pasrah dan berdiri untuk menjawab soal. Selama 10 menit di depan, aku masih saja diam tanpa mengerjakan satu baris pun. Aku tidak bisa berkonsentrasi.
“Saya tidak bisa mengerjakan ini, Bu.” Aku hanya membalik badan dan menaruh spidol itu di meja guru depan kelas.
“Apa yang sedang kamu pikirkan? Dari tadi kau hanya memandang ke papan tulis dengan pandangan kosong. Tidak biasanya kamu seperti ini. Renungkan apa yang telah kamu perbuat di luar sekarang!” guru itu terlihat emosi dan menyuruhku keluar dari kelas. Pintu kelas segera kututup lagi setelah aku keluar.
”Apa yang telah kulakukan?” aku hanya duduk di tepi dan memandang ke arah langit.
Tuhan, aku mohon biarlah Hyuk segera ingat dari semua yang telah ia lalui. Jangan biarkan dia melupakan semua itu. Walaupun masa lalunya sangat membuatnya menderita, aku yakin Hyuk akan menghadapinya dengan lebih dewasa.
Aku menyerahkan segalanya ke Tuhan. Satu – satunya yang dapat mengabulkan permintaanku. Saatnya pulang sekolah, 1 jam berada di depan kelas membuatku pusing. Angin yang hilir mudik menerpa kepalaku. Belum lagi saat ini, cuaca sedang tidak menentu.
“Apa kamu baik – baik saja?” Jenna yang membawa tas sekolah dan trenchcoatku keluar dan berlutut di depanku.
“Iya, aku baik – baik saja.”
“Semua barangmu telah kubereskan. Minumlah sesuatu yang hangat. Setidaknya untuk mengembalikan temperature tubuhmu.” Jenna memberikan trenchcoat dan syal yang kubawa dari pagi. Jenna dan aku segera berjalan menuju ke arah lobby sekolah, dan seorang laki – laki dengan kemeja motif kotak, celana jins, memakai vest, dan kacamata hitam menghampiriku yang sedang mengisi gelas dengan coklat panas.
“Hyuk?” Jenna yang pura – pura tidak tahu menyapa Hyuk.
“Hai, Jenna? Hai, AeRi?” Hyuk membalas sambil tersenyum, seperti tidak ada sesuatu yang aneh.
“Hai.” Aku hanya menjawab pelan.
“Apa yang terjadi denganmu? Pucat sekali wajahmu?” Hyuk bertanya setelah melihatku.
“Tidak apa, mungkin aku terlalu banyak memulas bedak di wajahku.” AeRi yang tidak tahu harus menjawab apa, hanya menggunakan alasan konyol.
“Jangan konyol, AeRi. Hyuk, dia berada di luar kelas dari 1 jam yang lalu tanpa menggunakan baju hangat.” Jenna menjelaskan.
“Apa yang kau lakukan diluar? Cuaca seperti ini akan mudah membuatmu sakit. Ikut aku.” Hyuk menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam mobil. Mobil segera melaju dan meninggalkan sekolah. Sungguh, kepalaku terasa berat dan sakit. Tak mungin aku harus mengatakan ini kepada Hyuk.perjalan terasa jauh bagiku, mungkin karena aku sedang tidak enak badan.
“Apa yang kamu rasakan saat ini?” Hyuk yang mempercepat kecepatan mobilnya bertanya padaku.
“Aku baik – baik saja, Hyuk.” Aku hanya menjawab pelan dan kembali meneguk coklat hangat. Hyuk sesekali melihatku. Kali ini aku benar – benar tidak tahan kepalaku yang sakit membuatku memejamkan mata untuk beristirahat.
“AeRi?” Hyuk yang sedang memperhatikan lalu lintas memanggilku. Hyuk tidak mendengar jawaban dariku. Hyuk hanya tersenyum begitu melihatku tertidur. Sesampainya di rumah sakit, Hyuk membangunkanku. Dia menyentuh dahiku untuk memeriksa suhu badanku.
“AeRi? Bangunlah, kita telah sampai.”  Gerry membangunkanku. Entah mengapa aku bangun dan terkejut.
“Maaf, biasanya aku tak pernah tidur di mobil orang lain. Maafkan aku, sungguh maafkan aku.” Aku hanya merasa tidak enak dan aku hanya meminta maaf.
“Dasar! Untuk apa minta maaf?” Hyuk turun dari mobilnya dan berlari untuk membukakan pintu untukku.
“Untuk apa kita kemari?” aku bertanya setelah melihat ada bangunan rumah sakit tepat di depan mobil.
“Turunlah perlahan.” Hyuk memgang tanganku dan membantuku turun dari mobil. Setelah berdiri aku merasa lututku bergetar. Aku merasa lemas dan hal ini membuatku hamper terjatuh.
“Ada apa denganku?” aku hanya dapat berkata seperti itu.
“Hati – hatilah. Keadaanmu memburuk jangan kamu bersikap kuat.” Hyuk berlutut di depanku.
“Apa yang kamu lakukan?” aku bertanya begitu melihat Hyuk berlutut memunggungiku.
“Naiklah, kamu sedang lemas. Jangan dipaksa.” Hyuk berniat menggendongku.
“Tak apa aku dapat berjalan.” Aku hanya terus berjalan menuju pintu rumah sakit sambil memegang kepalaku.
“Jangan merasa tidak enak. Naiklah.” Hyuk langsung berlutut lagi. Kali ini dia menarik tanganku untuk segera berada di punggungnya. Hyuk menggendongku dan berjalan dengan pelan.
“Hyuk, jangan begini. Kasihan kamu, berat untuk menggendongku.” Aku yang berontak agar Hyuk menurunkanku.
“Kamu bahkan lebih ringan daripada anjing golden tua yang kupiara.” Hyuk membetulkan caranya menggendong setelah aku berontak.
“Lassie namanya kan?” aku yang langsung menyela polos dan lupa untuk menjaga mulutku.
“Kamu tahu?”
“Tidak, aku hanya menebak. Nama itu sangat sering digunakan untuk peliharaan.” Lagi – lagi aku menjawab asal. Hyuk hanya tertawa dan membawaku ke arah ruang praktek dokter.
“Dia hanya flu berat. Setidaknya biarkan dia beristirahat penuh selama 2 hari. Makanlah sesuatu yang mudah dicerna.” Dokter menjelaskan setelah membuka gordyn tempatnya memeriksa.
“Baiklah, terimakasih banyak, dok.” Hyuk membukakan pintu untukku dan kami berjalan menuju pintu keluar.
            Saat turun melalui escalator, Hyuk tiba – tiba menggandeng tanganku.
“Mengapa kamu?” aku hanya bertanya dan berusaha melepaskan pegangan itu.
“Diamlah sesaat, aku ingin menggandengmu. “ Hyuk malah makin erat dalam memnggandengku. Aku benar – benar merasa senang atas apa yang dilakukan Hyuk. Tapi, aku merasa semuanya malah sia – sia, Hyuk tidak mengenalku sebagai AeRi yang dulu, yang selalu bersama dengannya.

6

            “Apa yang harus kau makan? Kau hanya boleh makan bubur. Padahal aku ingin membawamu untuk makan ramen.” Hyuk yang baru memasuki mobil dan memindahkan gigi netral menuju gigi satu mulai berbicara.
“Tidak apa kalau kamu mau makan ramen, aku temani. Lagipula aku sama sekali tidak merasa lapar.” Setelah aku menjawab Hyuk, Hyuk malah tersenyum dan terus menyetir.
AeRi, kamu sudah merasa enak? Kalau kamu masih di rumah sakit, mintalah pemeriksaan lebih lanjut. Rumah sakit itu milik keluarga Hyuk. Pasti apapun yang kamu mau, akan diusahakan.
~Jenna~
Sebuah teks pesan dari Jenna masuk saat itu, Hyuk hanya melihatku yang sedang membaca teks pesan.
“Rumah sakit itu milik Gerry? Apa benar? Dulu dia bukan memiliki rumah sakit, dia hanya menyimpan beberapa saham di tempat – tempat besar.” Aku hanya berbicara dalam hati dan berpikir.
“AeRi?” Hyuk memanggilku.
“Apa?”
“Justru aku yang harus tanya kamu baik – baik saja atau tidak, kamu melamun dari tadi.” Hyuk memerhatikan.
“Oh, tidak apa, hanya merasa ngantuk.”
“Tidurlah.” Hyuk mengambil baju hangatnya dari jok belakang dan menepikan mobilnya sesaat.
“Tidak, nanti saja begitu sampai di rumah.” Aku menjawab untuk menolak, aku merasa tidak sopan untuk tidur di mobil orang lain.
“Perjalanan menuju rumahmu cukup lama untuk dipakai beristirahat.” Hyuk mengacuhkan dan menyelimutiku dengan baju hangatnya.
“Tapi,”
“Tidurlah.” Hyuk merebahkan kursi sedikit.
“Kamu bahkan belum mengatakan apa yang harusnya kamu katakan. Ingat kan dengan pesan yang kamu kirim tadi siang?” aku kembali tegak dan bertanya.
“Nanti saja, orang yang sedang sakit biasanya dilarang untuk berpikir terlalu keras.” Hyuk kembali menyelimuti dan mulai menyetir. Aku tadinya ingit menolak, apa boleh buat aku tidak bisa menolak Hyuk. Tidak berapa lama, aku mulai memejamkan mataku, aku tertidur saat itu.
“AeRi? Karena kamu muncul, aku ingat segalanya. Apa yang harus kulakukan untuk melewati lagi masa laluku?” Hyuk memandangku sambil menyetir. Hyuk hanya berbisik pelan, tak lama dia meneteskan air matanya dan tersenyum.
            Akhirnya Hyuk dan aku sampai di rumahku.
“Begitu sepi, kemana semua orang?” Hyuk membuka baju hangatnya dan menaruhnya di sofa.
“Mama dan Papa harus pergi ke beberapa negara. Mungkin akan baru pulang tepat saat graduasiku nanti.” Aku menjawab sambil menaruh tasku di meja.
“Dimanakah dapur?” Hyuk bertanya sambil menggulung kemejanya.
“Apa yang ingin kamu lakukan?”
“Sudah tunjukkan saja.” Hyuk berjalan mencari dapur.
“Dapur ada disana.” Aku menunjuk ke arah barat rumah dan Hyuk menemukan dapur. Aku melihat Hyuk mengambil beberapa bahan dan mulai mengolahnya. Tak lama kemudian, Hyuk membawa sebuah nampan dengan mangkuk di atasnya. Semangkuk bubur hangat yang dibuat Hyuk. Hyuk mengaduk bubur sambil perlahan meniupnya.
“Aaa” Hyuk menyuruhku membuka mulut dan memakan buburnya.
“Biar aku makan sendiri.” Aku mengambil sendok dan mangkuk itu. Aku memakannnya pelan. Sungguh terasa malas untuk memasukkan makanan.
“AeRi setidaknya setelah kamu mendengar ini, kamu harus tetap tidur.” Hyuk memulai.
“Maksudmu?” aku hanya bertanya balik.
“Kamu tahu kalau aku Gerry? Kamu sudah tahu sejak pertama kita bertemu di taman kan?”
“Apa?” aku menaruh mangkuk di meja yang berada tepat di depanku.
“Jawablah aku.” Hyuk memegang tanganku. Aku hanya terdiam entah menjawab apa. Seakan – akan aku akan dilahap habis apabila aku mengambil jalan yang salah.
“Aku tahu kamu pasti akan bingung. Tapi, untuk apa kamu tutupi lagi? Semua telah kuingat. Kehidupan keluargaku yang hancur, dan aku hanya mengandalkanmu.” Hyuk kembali berbicara.
“Kamu ingat semua?” aku hanya menanggapi sambil terkejut.
“Aku ingat semuanya.” Hyuk melepaskan tangannya dari tanganku dan berdiri membalik badan.
“Maafkan aku, aku tidak pernah bermaksud untuk mmembuatmu ingat masa – masa itu.” Aku memeluk Hyuk dari belakang dengan erat.
“Percuma saja,” Hyuk melepaskanku dan membalik badan.
“Saat tadi aku menggandengmu, bahkan bersama denganmu, kamu tahu apa yang aku rasa? Aku benar – benar merasa nyaman, aku suka sama kamu, tapi kenapa harus kamu yang ada?” Hyuk terlihat marah. Aku tidak bisa mengatakan apapun dan hanya terdiam sambil mengeluarkan air mata.
“Kemarin saat aku mulai mengingat semuanya, aku benar – benar tidak tahu harus bagaimana denganmu. Tadinya aku akan langsung berbicara tentang ini bersama Jenna. Tapi, kamu tahu? Aku masih merasa kasihan melihatmu sakit. “ Hyuk hanya menjauhiku dan mengambil baju hangatnya.
“Tapi, aku mohon, Ger.” Aku hanya berlari ke arahnya dan memeluknya lagi dari belakang.
“Ger? Apa nama itu begitu bagusnya? Begitu nyaman kamu menyebut nama itu, kamu tidak tahu apa yang aku rasa saat aku memakai nama itu!” Hyuk melepaskan tanganku dan meninggalkanku. Aku langsung berlari ke depan rumah dan berusaha mengejar mobilnya.
“Aku mohon dengarkan aku dulu.” Aku berlari sambil berteriak. Sebenarnya aku merasa pusing dan sudah tak tahan. Mobilnya semakin kencang dan meninggalkan halaman rumahku. Aku hanya duduk terjatuh dan tidak sadarkan diri.

7

            “Nona, apa anda baik saja?” Nona Park asistenku langsung mengajakku berbicara begitu aku sadar.
“Jangan terlalu banyak berpikir, dia mungkin mengalami tekanan.” Dokter keluarga menjelaskan tapi aku tak mengerti apa yang ia katakan ke Nona Park.
“Apa yang terjadi?” aku hanya bertanya dan duduk.
“Nona tadi jatuh pingsan setelah mengejar mobil teman nona.” Nona Park menjelaskan.
“Aku ingat. Nona Park siapkan mobilku.” Aku hanya berdiri dari ranjang dan mengganti pakaian. Aku berlari ke lobby rumah.
“Tapi, nona. Anda belum sepenuhnya sadar. Biar saya yang antar.” Nona Park mencemaskanku. Aku hanya masuk ke mobil dan langsung menuju ke rumah Gerry. Sesekali aku melihat kea rah kaca dan melihat pucatnya wajahku. Akhirnya aku tiba di rumah Gerry. Penjaganya sama sekali tidak mempedulikan. Bahkan aku berteriak memanggil Gerry tapi tidak ada jawaban ataupun respon. Beberapa jam aku mencoba, aku benar – benar bingung harus lakukan apa. Telepon atau pesan tidak dijawab oleh Gerry, aku berjalan ke taman tempat time capsule itu ada. Aku hanya menagis dantidak berdaya.
Apa lagi yang harus aku lakuakan? Apa aku mengambil jalan yang salah? Apa aku harus meninggalkan semuanya? Aku tidak bisa, bantu aku Tuhan.
Aku hanya melihat gelapnya langit dan memohon pada Tuhan. Dinginnya udara malam menusuk kulitku dan tak lama, mulailah hujan. Aku hanya pasrah dan kambali ke depan rumah Gerry diman mobilku terparkir di depan gerbang rumahnya.
“Hyuk! Kenapa kamu seperti ini?” Jenna yang kebetulan ada di rumah Gerry berkata setelah melihat Gerry yang terdiam di tepi kolam dan memandang langit.
“Hyuk? Apa aksudmu dngan panggilan Hyuk? Bukankah Gerry nama yang lebih menderita lebih baik?” Gerry menjelaskan dan Jenna kaget dengan apa yang Gerry katakan.
“Apa maksudmu?” Jenna terkejut dan bertanya lagi.
“Pikirkan apa yang kamu lakukan terhadapku.” Gerry hanya meninggalkan Jenna dan menuju ke balkon rumah, Jenna mengikuti dan melihat Gerry yang sedang melihat ke arah bawah.
“AeRi?” Jenna berteriak memanggil AeRi yang terdiam di tengah lebatnya hujan.
“Kamu gila. Janganlah marah padanya! Pikirlah dari kecelakaan itu membuatmu tidak ingat lagi masa lalumu itu jalan terbaik. Sadarlah cepat dan pikirkan apa perbuatanmu itu sebanding? AeRi sakit dan kamu biarkan begitu! Sekali lagi pikirkan dengan waras!” Jenna meninggalkan Gerry dan menuju ke luar rumah membawa payung. Gerry hanya melihat dari atas ke arah AeRi.
“AeRi, masuklah, jangan begini kamu sedang sakit haruskah kamu lebih sakit lagi?” Jenna mengarahkan payung ke arahku.
“Jenna, apa yang harus aku lakukan?” aku hanya menangis dan memeluk Jenna.
“AeRi masuklah ke mobilmu biar aku yang setir, kita bicara di rumahku.” Aku dan Jenna meninggalkan rumah Gerry dan menuju ke rumah Jenna yang hanya beda beberapa blok. Jenna memapahku ke rumahnya.
“Mandilah dengan air hangat. Gunakan bajuku.” Jenna menyerahkan handuk dan bajunya. Jenna mengantarku ke kamar mandinya dengan air panas yang ada di dalam bathup. Setelah mandipun aku merasa tetap gemetar kedinginan. Jenna mengeluarkan teh madu hangat dan menyuruhku meneguknya pelan.
“Jenna, aku merasa bersalah.” Aku hanya berbicara sambil meneteskan air mata lagi.
“Jangan dipikirkan, biarlah yang salah itu Gerry, dia kadang masih tidak bisa bersikap dewasa. Biarlah dia berpikir sejenak.” Jenna membantuku mengeringkan rambut dengan hairdryernya agar aku merasa hangat.
“Terima kasih, Jenna. Jenna katakan pada pihak sekolah aku mungkin ijin selama satu minggu. Aku akan menenanangkan pikiranku.
“Berhati – hatilah, jangan kamu lakukan hal gila. Mengerti?” Jenna menjelaskan sambil tersenyum.
“Pasti.” Aku hanya menjawab sambil tertawa pelan.
            Aku hanya pulang ke rumah, dan menuju ke kamar untuk membereskan barang – barang yang aku bawa untuk menuju ke pulau yang dikelola kelurgaku. Baju – baju yang bisa membuatku lebih merasa enak, melupakan segalanya bahkan. Beberapa credit card untuk berbelanja, dan beberapa uang cash dan kartu debit. Aku angsung menuju ke bandara menaiki pesawat pribadi milik keluarga besarku.
            “Wah, semua terasa lebih baik disini.” aku yang baru memasuki mobilnya di Caledonia mulai menuju ke rumah. Caledonia, sebuah pulau yang dikelola oleh keluargaku. Pulau dengan tempat – tempat wisata dan tempat bisnis utama. Sebuah pulau lengkap dengan indahnya pemandangan bunga seputar mata memandang.
“Selamat datang, nona?” seorang  yang ditunjuk untuk mengelola segala kebutuhan di Caledonia menyapaku begitu aku memasuki gerbang rumah. Sebuah gerbang besar berwarna hitam dengan ukiran – ukiran di pagar. Jalanan besar menuju rumah, dikelilingi banyaknya pohon – pohon yang lebat dan bunga – bunga di sepanjang jalan. Tak lama terlihat sebuah rumah besar terlihat. Aku berjalan memasuki rumah dan melepaskan kaca mata hitamku. Aku segera menuju ke pintu belakang rumah, terlihat hamparan pasir di pantai dan lautan yang membentang.
“Caledonia, temani aku seminggu ini.” Aku segera berteriak ke arah lautan dan duduk di hamparan pasir. Seorang pelayan segera mebawakan segelas juice jeruk segar dengan buah – buahan tropis lainnya.
Temani aku disini, buatlah aku lupa akan apapun yang telah menimpaku. Setelah pulang nanti segalanya akan lebih baik dan lebih bebas. Aku mohon.
Aku mendangak melihat langit dan memohon dalam hati.

8
            Aku mulai sukses di Caledonia dengan beberapa proyek disini. Hotel, departemen store, beberapa pabrik makanan kaleng, dan toko – toko perhiasan. Tapi, masih ada satu proyek dengan untung terbesar yang masih tergantung yaitu proyek sekolah di bagian barat Caledonia. Sekolah yang langsung berbatasan dengan pantai. Hal ini masih ditentang, walaupun proyek mulai berjalan dan mulai dibangun.
“Sudah sadar dengan apa yang kamu perbuat?” Jenna bertanya pada Gerry yang sedang duduk memandangi kolam renang.
“Pergi!” Gerry hanya menjawab Jenna dengan satu kata dan segera meninggalkan Jenna. Gerry pergi dengan mobilnya entah kemana.
“Halo? Jenna? Bagaimana keadaan Gerry sekarang?” suara seorang wanita dari telepon terdengar begitu cemas.
“Aku tidak yakin, tante. Apalagi yang harus aku lakukan?” Jenna menjawab singkat.
“Jenna! Apa yang telah om katakan kurang jelas?” tiba – tiba suara telepon teralihkan dan tersdengar suara lelaki dewasa yang begitu berat.
“Tapi, om..” belum selesai Jenna berbicara, sudah disela oleh suara orang tua Gerry.
“Semua sudah cukup. Perempuan bernama AeRi harus segera dijauhkan dari Gerry.”  Suara lelaki dewasa itu terdengar marah dan segera menutup telepon.
“AeRi berhati – hatilah, jangan sampai segala sesuatunya terjadi denganmu.” Jenna hanya mencemaskan AeRi dalam hati. Jenna yang tahu keberadaan AeRi yang sedang menenangkan pikiran hanya mengirim pesan ke AeRi.
Buatlah dirimu nyaman, bila ada seseorang yang tidak kamu kenal mengikuti atau bahkan mengajakmu berbicara, pulanglah ke rumahmu disana, mintalah pelayan, dan penjaga rumahmu menjagamu dengan ketat. Demi Gerry.
~Jenna~
“Apa ini? Apa yang dimaksud Jenna? Dia sedang kacau rupanya.” Aku baru saja menerima pesan dari Jenna dengan kata – kata aneh.
“Apa yang kulakukan? Aku harus lupakan Gerry. Jadi, untuk apa aku hiraukan bila ini semua berhubungan dengan Gerry?” aku hanya menghapus pesan itu dan segera mematikan ponsel. Baterai pun kulepas, dan segera pergi menuju sebuah mall besar. Butik demi butik dimasukki olehku dan beberapa kantung besar tergantung di tanganku berisi baju – baju, tas, sepatu, bahkan aksesoris baru.
“AeRi?” seorang gadis menyapaku di sebuah butik.
“Michelle?”
“Apa kabar? Ternyata pulaumu makin lama makin menarik. Iklan – iklan promo benar – benar menarik.”
“Terima kasih. Sejak kapan kamu disini?”
“baru 1 minggu yang lalu. Besok akan kembali ke Seoul.”
“Terlalu cepat kamu kembali. Kalau saja lebih lama, kamu bisa saja menemaniku disini.”
“Aku juga ingin begitu. Ya ampun sekarang saatnya aku pulang, aku harus menemui beberapa teman mama.” Michelle berkata sambil mencari kunci mobilnya.
“Aku mengerti. Nomormu masih sama seperti dulu?”
“Masih sama, hubungi saja aku. Aku pulang. Sampai jumpa?” Michelle menuju ke lift dan meninggalkanku. Aku kenal dengan Michelle saat peresmian hotelku di Seoul. Sebagai pemegang saham yang lumayan besar. Kami mulai dekat saat itu.   5 jam berada dalam mall, aku keluar dari mall dan emnuju mobil. Aku mengisi bagasi mobilku penuh dengan kantung belanja dan segera pulang. Di perjalanan Nona Park yang menemaniku ke Caledonia meneleponku dari rumah.
“Nona, ada tamu. Segeralah pulang. Anda ditunggu sedari tadi.”
“Aku mengerti. Tunggulah beberapa saat lagi.” Aku seger menambah kecepatan dan menuju ke rumah.
            “Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?” aku menyapa sepasang suami istri yang duduk di ruang tamuku.
“Om? Tante?” aku terkejut setelah melihat pasangan itu. Ternyata mereka adalah orangtua Gerry.
“Kamu mengenal kami? Nona AeRi?” mama dari Gerry bertanya dengan bingung.
“Tentu. Bukankah kita tinggal di satu komplek saat itu. Diamana anda membeli saham di hotel kami?”aku hanya menjelaskan singkat.
“Oh, pantas saja Gerry mengingat segalanya.” Papa dari Gerry segera berdiri dan menghampiriku.
“Kamu tahu? Sekarang apa yang trerjadi dengan Gerry. Disaat kami telah memperbaiki hubungan kami dan memulai hidup baru. Kamu muncul dan mengingatkan segalanya. Apa yang kamu mau?”
“Om, tante. Aku mohon, kalian boleh memarahiku bahkan melampiaskanny padaku langsung. Tapi, bersikaplah baik pada Gerry, ingatannya yang pulih akan membantunya lebih dekat lagi dengan om dan tante.” Aku menjelaskan.
“Semuanya omong kosong, jauhi dia saat kamu pulang, pergilah jauh – jauh.” Orangtua Gerry segera meninggalkanku dan menuju lobby rumah.
“Om, tante tenang saja, aku juga akan meninggalkan Gerry sebelum disuruh.” Aku hanya menyampaikan keinginanku itu. Orangtua Gerry seperti tidak menanggapi dan segera meninggalkan rumahku. Aku hanya menagis lagi.
            Tak lama setelah itu, ponselku berdering.
“Halo?” aku menyapa sambil masih sedikit menangis.
“AeRi? Kamu kenapa?” suara Michelle terdengar di ponsel.
“Oh, tidak aku hanya baru bangun tidur, mungkin masih terdengar lemas.” Aku menjawab asal.
“Temuilah aku sekarang di café dekat pantai. Aku butuh solusimu.” Michelle hanya menutup telepon setelah membuat janji denganku. Aku pergi ditemani Nona Park. Setelah sampai di café, aku melihat Michelle duduk di sebuah meja. Michelle terlihat bahagia.
“Michelle, maaf membuatmu menungguku.” Aku hanya duduk di depannya.
“Tak apa. pesanlah dulu minuman atau makanan. Baru aku akan bicara.”
“ Aku baru makan, tidak apa. Langsung saja cerita.”
“Aku senang sekali. Aku akhirnya diijinkan memiliki pacar walaupun aku dijodohkan.”
“Apa?” aku hanya terkejut.
“Iya, kembalilah ke Seoul cepat. Mungkin dalam minggu – minggu dekat ini aku akan mengadakan acara tunangan.”
“Selamat, aku yakin, kamu akan bahagia.” Aku memberinya selamat.

9
            Selama berbulan – bulan AeRi tak kunjung kembali ke sekolahnya. Jenna hilang kontak denganku. Semua orang tak ada yang tahu kecuali keluargaku bahwa aku pindah ke Caledonia dan memulai segalanya disana, mulai dari sekolah, dan aktifitas baru bersama teman – teman yang lebih baik lagi.
“Apa yang kamu lakukan ke AeRi hingga dia tidak kembali sampai saat ini?” Jenna berbicara keras terhadap Gerry yang sedang duduk memainkan portable gamenya.
“Maksudmu?” Gerry bertanya cemas.
“Puas sekarang? Aku hilang kontak dengan AeRi, semua bahkan tidak tahu apa yang dilakukannya sekarang, bahkan rumahnya kosong dan tertutup rapat, hotelnya sudah dimiliki orang lain, semua sahamnya dicabut. Semua berita dicabut.” Jenna menjelaskan pada Gerry. Gerry seteah 5 bulan ini telah melupakan kesalahan AeRi dan telah bersikap seperti biasa dengan bahagia dengan keluarganya.
“Jadi, maksudmu? Dia menghilang?” Gerry segera mengambil ponselnya dan mencari nama AeRi di kontaknya, saat ditelepon dikatakan bahwa nomor AeRi telah tiada.
“Kamu keterlaluan!” Jenna meninggalkan Gerry dan pergi.
            Sore hari saat orangtua Gerry dan Gerry berkumpu bersama dalam acara minum teh bersama,  orangtua Gerry mengatakan sesuatu yang mengejutkan Gerry.
“Apa? Menikah?” Gerry terkejut.
“Ya, anak dari pengusaha restoran – restoran dan direktur dari hotel terbesar saat ini akan dijadikan sebagai calon istri kamu.” Papa Gerry menjelaskan.
“Aku masih muda, aku tidak mau menikah dulu.” Gerry menantang.
“Kamu bisa menikah nanti, yang penting, dekatlah dengannya, bisa saja kamu dengannya tunangan dulu. Gerry kaget dan bingung. Di satu sisi dia masih saying dengan AeRi, di sisi lain dia sebagai anak sulit untuk menolak apa yang orantuanya inginkan.
“Perkenalannya besok, jangan lupa datanglah besok di restoran King pukul 7 malam. Gunakan pakaian yang baik.”
“Aku tidak berarti setuju bila aku datang.”
“Pikirkan saja nanti tentang itu, yang penting kenalah dengannya dulu.” Mama dari Gerry menjelaskan sambil tersenyum lega.
            Sementara itu aku bersama kedua orangtuaku yang berada dalam perjalanan pulang dari perusahaan orangtuaku.
“Ma, aku kangen pulang kembali ke Seoul, aku ingin bertemu teman – temanku.”
“Boleh saja, tapi mungkin lusa. Karena saat ini kamu harus terus membantu mama dan papa.” Mama menjelaskan.
“Terima kasih, ma.” Aku segera memeluk mama. Sampainya di rumah, aku menyalakan ponsel lamaku. 45 missed call dan 40 pesan terdaftar begitu ponsel lamaku aktif. Semua missed call hanyalah dari Jenna, dan Gerry. Tapi, pesan – pesan teks hanya dari Jenna. Aku langsung menghapus semuanya tanpa dibaca. Aku merasa pasti pesan ini sudah terlalu lama. Setelah dihapus, aku hanya mengambil nomor Jenna dan mengirim teks dari ponselku saat ini.

Jenna, aku kangen. Lusa kau kembali ke Seoul. Jemput aku. Banyak yang harus kuceritakan tentang hidup baruku. Jangan marah – marah ya. Akan kuceritakan alasanku nanti. Sampai jumpa lusa nanti, mungkin aku sampai sekitar pukul 9 pagi.
note: jangan teleponku sekarang, kalau menelepon aku tidak akan kembali ke Seoul untuk selamanya, ^^
~AeRi~
Apa? AeRi?” Jenna yang sedang menegus segelas air berhenti dan segera menuju ke rumah Gerry.
“Gerry!!!!” Jenna yang baru keluar dari mobilnya yang belum dimatikan, langsung masuk ke rumah Gerry.
“Apa yang kamu lakukan?” Gerry yang sedang memakai rompinya dan jasnya di ruang keluarga.
“Kamu akan datang ke perkenalan itu?”
“Iya, tentu. Tapi, tetap saja aku tidak setuju menikah dengannya. Kamu hanya ingin mengatakan itu?” Gerry bertanya balik sambil memakai arlojinya.
“Baca ini.” Jenna memberikn ponselnya ke Gerry.
“Apa ini semua benar?” Gerry tersenyum setelah membaca pesan itu.
“Iya. Lusa aku akan menjemputnya di bandara. Ikutkah?” Jenna bertanya.
“Pasti. Tapi, sekarang aku harus pergi dulu. Sampai nanti.” Gerry menuju ke mobilnya dan pergi ke restoran itu.
            Sesampainya Gerry di restoran itu, dia melihat seorang gadis muda dengan dress berwarna toscha. Rambut hitam lurus membuat wajahnya semakin terlihat jelas. Dia canti tapi tak secantik AeRi. Perkenalan berlangsung hingga kurang lebih pukul 10 malam. Papa Gerry menyuruh Gerry pulang terlebih dahulu dan mengantar gadis itu.
“Maaf, tapi siapakah namamu tadi? Aku tidak begitu ingat.”
“Michelle Park.” Gadis itu menjawab lembut.
“Dimanakah rumahmu?” Gerry bertanya.
“Perempatan itu belok ke kiri, setelah menemukan taman, beloklah ke kanan, rumahku paling pertama.”
“Aku mengerti.” Gerry mengiyakan sambil tersenyum. Tapi tiba – tiba poselnya berdering.
“Maaf, aku harus baca ini.” Gerry mengatakannya pada Michelle.
“Silahkan.” Michelle membantu memperhatikan jalan.
Bagimana keadaanmu dengan orangtuamu? Baikkah? Kuharap begitu, lusa aku akan kembali, orangtuamu pasti menentangmu untuk bertemuku, jadi turuti mereka kalau – kalau kamu haus bersama mereka. Walaupun banyak yang harus kukatakan denganmu.
note: jangan menelepon atau kamu akan mati lusa. Dan ingat! Begitu aku kembali tenangkan emosimu.
~AeRi~
Gerry tersenyum begitu membaca pesanku dan menambah kecepatan menuju rumah Michelle dan segera pulang menemui Jenna.
            “Bodoh, untuk apa aku kirim pesan ke Gerry? Apa aku ingin mati?” aku hanya menepuk kepalaku pelan dan berbisik pelan terhadap diriku sendiri.
“Oh iya. Michelle. Michelle ada di Seoul. Aku harus kabari dia.
Michelle, besok aku kembali ke Seoul. Mungkin banyak yang akan aku bicarakan. Belum lagi aku akan menemanimu memilih baju untuk pertunanganmu. Jangan sampai kamu mencari sendiri! Sampai jumpa di Seoul. Aku akan tiba pukul 9 pagi.
~AeRi~

10

            2 hari berlalu, penerbangan menuju ke Seoul telah tiba. Beberapa jam dihabiskan dan akhirnya sampai di Seoul. Aku melihat Jenna celingak – celinguk dekat kursi tunggu. Aku hanya membawa koper – koperku dan duduk di kursi itu. Setelah 30 menit, Jenna tidak mengenalku bahkan setelah aku melepaskan kacamata hitamku.
“Lupakah denganku? Ini baru 5 bulan, Jenna.” Aku menyapa Jenna yang masih clingak – celinguk.
“AeRi? Kamu benar AeRi?”
“Iya.”
“Kamu berubah jauh. Lihatlah dirimu!” Jenna membawaku ke arah cermin dan aku melihat diriku dengan rambut yang tetap keriting hanya saja warna coklat muda itu telah kurubah menjadi coklat tua. Biasanya dress – dress yang lucu dan babycolor yang kupakai, sekarang berubah total. Menjadi dress resmi dengan memakai outfit resmi.
“Ini karena aku baru pulang dari membawakan rapat.” Aku menjelaskan.
“Jenna? Bukan mencari AeRi malah ngobrol disini!” Gerry yang berlari menghampiri Jenna.
“Bodoh! Kalu begitu ini siapa?” Jenna menarik Gerry dan menempatkannya tepat di depanku.
“AeRi?” Gerry meneliti.
“Kamupun berubah.” Lihat jas dan rambutmu!” AeRi menjelaskan sambil melihat Gerry.
“Gerry, kamu berlari terlalu cepat!” tiba - tiba seorang gadis menggandeng tangan Gerry.
“Kenapa kamu ada disni?” Gerry bertanya.
“Aku tidak sengaja sedang ingin menjemput temanku dan bertemu denganmu disini.” Michelle menjelaskan.
“Michelle?” aku bertanya.
“AeRi? Kamu sudah sampai? Aku kangen!” Michelle segera memeluk AeRi begitu juga aku.
“Kamu kenal dengan Gerry?” Michelle bertanya begitu melihat Gerry ada disitu bersamaku dan Jenna.
“Iya, aku kenal. Kamu sendiri?” aku bertanya bingung.
“Tepat sekali, dia calon tunangan aku.” Michelle malah merangkul Gerry.
“Oh, dia? Selamat ya?” aku hanya memberikan selamat dan segera berjalan lagi menuju kea rah luar bandara.
“AeRi, kamu tidak apa?” Jenna mengejarku dan berbisik. Aku hanya kembali memakai kacamata hitamku dan dibalik itu, aku hanya menangis lagi. Aku naik mobil Jenna, sedangkan Gerry bersama Michelle. Jenna melepaska kacamata hitamku.
“AeRi, mereka tidak akan bersama. Gerry tidak akn mau bersama Michelle.” Jenna menghibur.
“Kenapa? Kenapa aku harus menangis di saat aku kembali?” aku hanya menanggapi pelan.
“Michelle temanmu?” Jenna bertanya.
“Iya, dia temanku. Aku tidak bisa menghancurkan kebahagiaan dia. Waktu dia cerita dia akan tunangan, dia benar – benar senang. Apa yang akan terjadi kalau – kalau aku menghancurkannya?” aku menjelaskan sambil terus menangis.
“Tapi, apa mungkin kamu akan menghancurkan kebahagiaanmu sendiri, AeRi? Sudah lama kamu inginkan ini, bahkan semua sudah kembali semula, semua sudah lebih mudah, AeRi.” Jenna mengembalikan jawabanku. Aku tak dapat menjawab apapun dan hanya terdiam. Semua yang sudah dialami, kukenang kembali. Tak ada satu pun yang dapat aku rasakan lagi saat ini.
            Sementara itu di dalam mobil Gerry yang ditumpangi oleh Michelle.
“Ger, dia kenal denganmu?” Michelle bertanya memulai percakapan.
“Oh, iya. Sejak kecil bahkan. Aku kenal dia lebih lama darimu.” Gerry menjelaskan sambil terdengar kesal. Michelle diam untuk berpikir ada apa sebenarnya.
AeRi, sebenarnya apa yang telah terjadi di antara kalian? Jelaskan padaku setelah makan siang bersama mereka. Kutunggu di everland.
~Michelle~
Sebuah pesan teks dikirim oleh Michelle untuk AeRi.
“Apa ini?” aku berbisik kaget setelah membaca pesan teks.
“Ada apa, AeRi?” Jenna bertanya setelah mendengarku sedikit berbisik.
“Oh, tidak. Hanya saja begitu makan siang bersama ini, aku harus segera menuju rumah, ada beberapa pekerjaan yang harus aku handle sendiri.” Aku hanya menjelskan asal.
“Betapa hebat dirimu, dipercaya untuk melanjutkan bisnis besar orangtuamu sejak sekarang. SMA pun bahkan belum kamu selesaikan.” Jenna menanggapi sambil tertawa. Tak berapa lama, mobil pun terhenti di depan sebuah rumah makan ala barat. Rumah makan dengan aksen taman. Sebuah rumah makan yang menyiapkan makanan barbeque.
“Sudah lama aku tak ke sini. Dan kepulanganmu membuatku kembali makan disini.” Jenna yang baru turun dari mobilnya menepuk bahuku. Aku hanya tertawa manis seperti biasa. Tak berapa lama mobil sedan sport hitam milik Gerry terhenti di belakang mobil Jenna. Valet service segera membawa mobil untuk diparkirkan. Gerry dan Michelle berjalan ke arahku dan Jenna. Michelle menggandeng tangan Gerry dan semakin dekat dengannya. Entah apa yang dia lakukan. Aku harap dia tidak tahu masa laluku.
“AeRi! Pintarnya dirimu membawa kami makan di restoran ini.” Michelle mengucapkan hal ini dan tersenyum agak sinis.
“Iya, kalian makanlah yang banyak. Ini kan acara kepulanganku, jadi makanlah yang banyak. Aku yang bayar.” Aku hanya mnanggapi sambil tersenyum. Mungkin orang bilang aku tersenyum tulus, tapi tidak sama sekali sebenarnya.
            Makanan siap di atas meja, yang telah kami bakar bersama sedari tadi. Kami memulai makan dengan meminum segelas anggur.
“Untuk kepulangan AeRi, bersulang!” Jenna mengangkat gelasnya dan mengucapkan hal ini.
“Dan untuk pertunanganku!” Michelle menyela. Kami hanya mengangkat gelas dan bersulang. Aku hanya tersenyum dan meminumnya. Saat aku minum, aku tak begitu menyadari yang ada di sekitarku, hingga akhirnya aku sadar, Gerry sedang memandangiku sedai tadi. Aku tersedak dan sedikit terbatuk.
“Kamu tidak apa?” Jenna mengambil yissue dan membantuku membersihkan meja.
“Oh, tidak. Aku permisi ke toilet.” Aku berjalan ke toilet sambil terus menepuk dadaku yang terasa tersendat.
“Aku permisi ke belakang.” Gerry menaruh gelasnya dan segera berdiri mengejarku.
“AeRi!” Gerry menarik tanganku dan menyenderkanku pada dinding bata merah.
“Apa yang kamu lakukan? Tunanganmu disana, apa yang akan kukatakan bila dia melihat kita?” aku hanya menjawab cepat sambil membuang muka.
“AeRi! Ingat, aku sama sekali tidak ada perasaan dengannya.” Gerry mendekatiku semakin dekat.
“Tapi, dia benar – benar suka denganmu!” aku hanya menjelaskan apa yang aku dapat setelah mendengar cerita dari Michelle di pulau. Gerry malah mengabaikanku dan membawaku keluar dari restoran. Gerry menarik tanganku kencang.
“Gerr, sakit. Aku bisa berjalan sendiri!” aku memberontak.
“Diam dan masuklah.” Gerry membuka pintu mobilnya dan memasukkanku dengan kasar.
“Jangan keluar! Aku harus bicara denganmu.” Gerry mengunci mobil dan masuk ke kursi setir dan mulai melesat.
“Gerry!” Michelle yang tahu bahwa aku dan Gerry pergi, mengejar mobil Gerry sambil terus berteriak.
“Gerr, apa kamu gila? Liahat di belakang dan hentikan mobilmu!” aku memohon pada Gerry sambil meneteskan air mata. Gerry mengacuhkan dan makin membawa mobilnya dengan cepat.

11

            Mobil yang melesat kencang, Gerry yang memasang wajah marah dan hanya terdiam, membuatku semakin takut dan sedih. Aku hanya menundukkan kepalaku dan menahan air mata. Tiba – tiba ponselku bordering.
“Halo?” aku menjawab pelan dan lemas.
“Apa?” aku kaget begitu mendengar sekretarisku mengatakan bahwa kontrak pembuatan proyek di pulau dibatalkan.
“Aku segera kesana. Jangan biarkan staff pulang, kumpullah di aula. Dan jangan sampai orang tuaku tahu.” Aku menyelesaikan perkataanku dan segera menutup telepon.
“Ada apa?” Gerry bertanya setelah mendengarku panic.
“Aku harus kembali ke Caledonia. Proyekku terhenti dan terancam tutup. Berhentilah disini, aku pasti akan bicara  denganmu lain waktu. Aku akan cari taksi menuju bandara.”aku berkata sambil membereskan tasku.
“Tak ada waktu.” Gerry hanya mwmbanting setir dan memutar mobilnya menuju ke Bandara.
“Biar aku antar kamu sampai sana. Mungkin ada yang bisa aku bantu.” Gerry segera bertanya lagi menawarkan tawaran.
“Apa kamu tidak keberatan?” aku bertanya.
“Tidak. Handle-lah pekerjaan yang bisa kamu handle dari sekarang, coba hubungi penanggung jawabmu dan ketua staff.” Gerry ikut sibuk.
“Aku mengerti.” Aku mengambil ponselku dan segera memulai menyelesaikan hal – hal yang bisa kuselesaikan.
2 jam perjalanan kahirnya sampai di bandara. Tiket harus dipesan dan akan berangkat 30 menit lagi. Terpaksa semua ponsel dimatikan, aku dan Gerry menuju gate pesawat dan menunggu sampai keberangkatan.
“Tenanglah semua akan baik – baik saja.” Gerry memegang tangnku menenangkanku yang panic.
“Tapi, apa yang harus kulakukan bila mereka malah meninggalkanku dan benar – benar menghentikan proyek?” aku makin panic setelah membayangkan sgala hal buruk.
“Tak mungkin. Tenanglah, kamu pandai berbicara. Mereka semua akan luluh.” Gerry hanya melepas giwangnya dan memasangkannya padaku. Sebuah giwang berwarna hitam mengkilap yang ia pakai sedari dulu.
“Apa ini?” aku bertanya bingung.
“Jimat untukmu. Pikirkan semua hal positive yang akan terjadi, dan peganglah giwang ini semua akan terjadi begitu saja dan sesuai yang kamu rencanakan.” Gerry menjelaskan sambil membereskan rambutku yang tadi dia silak-kan ke belakang.
“Terima kasih ya?” aku hanya tersenyum.
“Dan ingat, jangan terpengaruh dengan apa yang terjadi tadi.” Gerry bediri dan menarikku menuju pesawat. Aku tersenyum mengingat apa yang dia lakukan waktu di rumah sakit. Saat dia menggandengku hangat.
Pesawat mulai meninggalkan landasan. Aku mulai membuka sebuah tab yang selalu kubawa dalam tas dan memeriksa seluruh file – file. Dari masalah pendanaan, janji staff dan pekerja, serta seluruh perijinan.
“Semua sudah siap?” Gerry bertanya.
“Iya tentu saja.” Aku menjawab sambil tersenyum manis seperti biasa. Gerry malah terus memandangiku tanpa mengedipkan matanya.
“Apa?” aku bertanya sambil melambaikan tanganku di depan matanya.
“Tidak,” Gerry memutar kepalanya ke depan. Aku hanya tersenyum dan menutup tab-ku. Setelah aku selesai menaruh tab, aku mulai duduk tenang. Gerry malah menarik tanganku dan menggenggam tanganku erat sambil tersenyum.
“Kenapa?” aku bertanya sambil tersenyum.
“Aku hanya menyalurkan energy positiveku.” Gerry yang salah tingkah hanya menjwab asal dan tersenyum. Perjalanan terasa benar – benar menyenangkan dan terasa benar – benara tenang. 4 jam berlalu
“Penerbangan dengan KOREA airlines dengan nomor KO1318 akan segera mendarat di Caledonia Island. Kembalilah ke tempat duduk anda dan kencangkan safety belt anda.” Seorang pramugari menjelaskan lewat microphone.
“Kita sudah sampai. Tarik nafasmu dan tenanglah.” Gerry menggenggamku erat dan segera menenangkanku lagi.
“Iya.” Aku menjawab pelan sambil mengambil ponselku dalam tas. Tiba – tiba sebuah kecupan mendarat di dahiku. Ternyata Gerry.
“Kenapa? Kenapa kamu …” aku yang kaget hanya bertanya gugup.
“Ingat, aku akan selalu ada apapun yang terjadi dengan kamu.” Gerry menggenggam lagi tanganku. Setelah pesawat mendarat, aku dan Gerry keluar dari pesawat. 3 mobil sedan berwarna emas telah menunggu beberapa meter dari pesawat. Ternyata beberapa pekerjaku dan sekretarisku yang menjemput. Aku dan Gerry menaikki mobil. Mobil segera melesat dan menuju ke tempat proyek.
“Nona Park, sebenarnya apa yang terjadi?” aku bertanya di jalan.
“Salah satu pemegan saham proyek membeli beberapa saham dan menguatkan kedudukannya. Pemegang saham ini pun menggagalkan beberapa pendanaan dan menyuruh menghentikan proyek. Kami tidak dapat mengelak karena 75% saham proyek adalah miliknya.” Sekretarisku menjelaskan.
“Siapa dia?” aku bertanya sambil membuka map pemegang saham yang baru. Aku melihat nama di urutan teratas ternyata tertulis nama PARK JI YOUNG.
“Park Ji Young?” aku mengerutkan dahi dan berusaha mengingat orangnya.
“Bukankah itu Michelle?” Gerry menyela membantuku mengingat.
“Betul! Michelle. Apa yang dia incar sebenarnnya?” aku hanya bertanya kesal.
Sudah tahu penyebabnya? Kembalikan milikku dan aku akan kembalikan semua milikmu itu.
~sahabat KARIBMU: MICHELLE~
“Apa ini? Ternyata ini semua ulah dari Michelle?” aku kaget begitu meliha pesan di ponseku. Hingga aku tidak sadar kalau Gerry mengambil ponselku dan membaca pesan itu.
“Apa yang dia maksud?” Gerry bertanya balik kaget.
“Nona, percepat laju mobil.” Aku hanya memerintahkan sekretarisku untuk segera menuju ke lapangan tempat proyekku sebelum semuanya semakin parah.
AeRi, maafkan aku. Aku terpaksa menceritakan semuanya. Dia benar – benar gila. Dia mengancamku akan mengambil perusahaan milik keluarga dan membuat keluargaku tinggal di jalan. Aku tak mungkin juga merelakan keluargaku. Maafkan aku. Aku turut bantu dari sini.
~Jenna~
Jenna mengirimkan sebuah pesan yang benar – benar membuatku kaget. Mengapa Michelle seorang gadis cantik dan lembut sepertinya tega berbuat ini ke temannya sendiri bahkan hanya karena urusan laki – laki.
            Sampainya di lapangan, aku dan Gerry melihat seluruh pekerjaan terhenti. Staff, pekerja, dan beberapa pemegang saham berada di lapangan dan terlihat marah.
“Maafkan aku. Hal ini tidak akan terjadi lagi. Kembalilah bekerja dan dukunglah aku untuk menyelesaikan hal ini.” Aku hanya memulai pembicaraan dengan takutnya.
“Apa yang presiden katakan? Kami terus bekerja tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya? Tidak akan terjadi, kami disini untuk dibayar. Keringat kami kau bayar! Kalau saja pekerjaan terus dilakukan, dan kau tak dapat membayar kami? Aku tak akan lakukan itu.” Seorang pekerja mulai marah. Dan hal ini disusul riuhan dari pekerja lain.
“Tenang semua, selama hal ini belum selesai, aku akan membayar kalian. Apa yang kalian butuhkan selama bekerja akan kubantu.” Gerry menyela sambil maju menuju kea rah para pekerja. Pekerja dan staff hanya menggut – manggut menyetujui Gerry.
“Tapi apa yang akan terjadi dengan kami?” para pemegang saham lain mulai rebut.
“Saham kalian tetap pada proyek ini. Keuntungan kalian sementara kami bagi rata dari perusahaanku.” Tiba – tiba suara Jenna datang dan mulai berbicara.
“Jenna, Gerry? Apa yang kalian lakukan?” aku hanya bertanya kea rah mereka.
“Kami membantumu, AeRi. Semua kekacauan ini, kami yang perbuat. Kamulah korban, tenang saja.” Jenna menjawab.
“Tapi, satu hal. Diamlah, jaga rahasia ini. Dan jangan katakan kami ada di belakang kalian.” Gerry hanya member satu syarat. Para pekerja kembali bekerja dan para pemegang saham terlihat sedang berkumpul dengan Jenna dengan wajah gembira.
“Bukan hanya terima kasih yang harus kukatkan pada kalian. Katakan, apa yang kalian inginkan.” Aku hanya berkata begitu kepada Jenna dan Gerry.
“Cukup makan malam bersama mungkin.” Gerry menjawab sambil tersenyum.
“Aku minta satu hal: katakan yang sebenarnya pada Michelle, singkirkan dia, dan bersama Gerry.” Jenna menjawab tegas sambil tersenyum.
“Apa? Kamu gila. Bagaimana dengan orangtuaku?” Gerry langsung menyela.
“Kamu yang gila. Bukankah orangtuamu hanya ingin kamu bersma orang yang setidaknya selevel denganmu? Orangtuamu hanya tahu kalau AeRi bangkrut di Seoul. Tapi sebenarnya tidak kan? AeRi hanya sedang konsentrasi pada seluruh bisnis Caledonianya.” Jenna merumuskan.
“Kamu benar. Untuk apa takut melawan Michelle?” Gerry segera bersemangat.
“Kamu masih menyukaiku?” aku bertanya malu pada Gerry.
“Selalu.” Gerry menjawab pelan dan tersenyum.
“Ok. Aku akan Check-in sendiri daripada melihat pemandangan seperti ini.” Jenna berdiri sambil tertawa dan menuju ke hotel.

12

            “Apa?” Michelle berteriak mendengar kabar bahwa proyek AeRi kembali normal bahkan lebih baik.
“Tidak mungkin. Ambillah beberapa pinjaman lagi dari bank dan hancurkan proyek  itu.” Michelle menyuruh sekretarisnya sambil marah.
“Tapi, nona apabila terus begini, kemungkinan gagal akan besar. Dan apa yang terjadi kalau gagal? Kita tidak dapat mengembalikan seluruh pinjaman.” Sekretarisnya menjelaskan.
“Kamu mengguruiku? Orangtuaku punya banyak cadangan. Segera lakukan!”
            Sementara itu di Caledonia, suasana semakin menyenangkan. Semua kembali berjalan lancer walaupun dibantu oleh Gerry dan Jenna.
“AeRi, temani aku.” Jenna yang membawa kunci mobilnya menghampiriku.
“Kemana?”
“Ikut dulu.” Jenna hanya menarik tanganku dan mengajakku pergi. Perjalanan begitu jauh.
“Jenna, sebenarnya akan kemana kita?” aku hanya bertanya.
“Sebentar lagi sampai. Lihatlah gedung itu.” Jenna menunjuk sebuah gedung putih di pinggir pantai. Sebuah gedung pertunjukkan terbesar di Caledonia.
“Untuk apa kita kesini?” aku bertanya lagi.
“Pegang ini.” Jenna menyerahkan sebuah tiket pertunjukkan musical kepadaku.
“Musical? Kita akan menonton ini?” aku bertanya sambil tersenyum lebar.
“Iya tentu saja.” Jenna hanya kembali tersenyum. Tak lama, mobil pun dihentikan di depan lobby gedung. Jenna dan aku turun dan menuju ke dalam gedung.
“Kamu masuk saja dulu. Aku ada barang yang tertinggal.” Jenna hanya meninggalkanku dan berlari kecil menuju luar. Aku hanya memasuki ruang pertunjukkan dan mencari tempat duduk yang tertulis di tiket.
“Ini kurang jelas. 2F atau 2E?” aku berbisik sendiri begitu melihat tiket dengan tulisan yang kurang jelas. Tak disangka seorang penjaga pintu menghampiriku dan menyuruhku duduk I bagian 2E. aku duduk menunggu Jenna. Lampu ruangan semakin gelap, Jenna tak kunjung tiba juga.
Bersenang – senanglah!
~Jenna~
Lagi – lagi sebuah pesan dari Jenna. Aku tak mengerti yang dia maksud. Pertunjukkan sudah dimulai dan aku hanya menonton seorang diri.
“Maaf, aku terlambat. Jalanan begitu sesak.” Suara seorang laki – laki mulai mengajakku berbicara.
“Gerry?” aku bertanya begitu melihat wajah Gerry.
“Ini aku.” Gerry menjawab lagi sambil tersenyum manis. Aku senang kalau akan seperti ini. Tapi tetap saja Jenna menjebakku. Kami menonton sambil tertawa, konse musical terasa begitu menarik dan menyenangkan.
“Mana tanganmu?” Gerry tiba – tiba bertanya.
“Tangan? Ini tanganku.” Aku mengacungkan tanganku di depan matanya. Dia menarik tanganku dan menggenggamnya dengan erat.
“Jangan pergi lagi ya? Jangan tinggalkan aku lagi sendiri.” Gerry mulai berbicara.
“Maksudmu?” aku bertanya polos seakan – akan terlihat benar – benar bodoh.
“Bodoh!” Gerry mengusap kepalaku perlahan sambil tersenyum.
“Aku mengerti. Aku tak sebodoh itu.” Aku hanya menyenderkan kepalaku ke bahu Gery dan tersenyum lagi. Suasana ini yang aku mau dari dulu. Entah mengapa ini semua terjadi begitu saja. Lewat banyak konfik yang selalu menghalangi kami berdua. Malaikatku Jenna selalu membantu bahkan apabila bantuan itu membahayakannya, dia pasti terus bantu kami. Memang dasar Jenna.
            Pertunjukkan akhirnya berakhir. Aku dan Gerry meninggalkan ruangan dan berjalan menuju mobil Gerry.
“Aku lapar.” Gerry hanya berbicara sambil tersenyum.
“Mau makan apa?” aku bertanya sambil mengencangkan safety belt.
“Aku bingung, semua restoran sudah kucoba.”
“Mungkin yang satu ini belum kamu coba. Jalanlah. Akan kutunjukkan jalannya.” Aku hanya menjawab singkat. Mobil mulai dijalankan, aku menunjukkan jalan, dan sampaiah kami di sebuah kedai kecil penuh sesak.
“AeRi?” Gerry bertanya bingung.
“Tidak keberatan kan? Harga mahal kalau tidak enak, sama saja. Cobalah ini dulu.” Aku menjelaskan singkat dan turun dari mobil. Aku membuka pintu bagian Gerry dan menariknya keluar. Kami memasuki kedai sesak itu, asap – asap masakan bertebaran, wangi – wangi kimchi memenuhi ruangan.
“Bibi, berikan kami 2 mangkuk bulgogi, dan 1 mangkuk kue beras.” Aku berteriak kepada seorang bibi penjaga kedai.
“Tunggu sebentar.” Jawab bibi itu.
“Kamu coba dulu,  baru protes ke aku.” Aku hanya berbicara singkat pada Gerry. Gerry hanya membuka suit-nya, dan mulai tersenyum.
“Justru sudah lama aku ingin membawamu ke kedai – kedai seperti ini. Tapi, aku takut kamu malah tidak setuju dengan keadaan kedai.” Gerry hanya berbicara sambil tersenyum.
“Tidak, justru aku lebih suka seperti ini. Kamu ingat sebuah mobil yang mnjual kue beras dekat komplekmu?”
“Iya, aku ingat. Lain kali kita kesana ya?” Gerry menjanjikan lagi. Aku tersenyum. 1 jam kurang lebih kami habiskan untuk makan disana. Setelah selesai kami keluar kedai dan menuju mobil.
“Aku yang setir, kasian kamu dari tadi terlihat capek.” aku menawarkan.
“Baiklah.” Gerry menyerahkan kunci mobilnya dan kami mulai menuju ke arah pulang. Sampainya di hotel, kami turun dari mobil dan berjalan menuju ke taman belakang hotel. Gerry terus menggandengku dengan hangat. Benar – benar suasana menyenangkan hari ini. Walaupun para pekerja hotel dan beberapa orang di pulau yang kenal denganku langsung memandangiku aneh. Benar – benar risih sekali. Tapi tak  apa selama mash ada di samping Gerry.

13
            Sebuah bagian belakang hotel yang begitu indah. Bagian belakang berbentuk taman dan langsung menyatu dengan hamparan pasir yang membentang menuju indahnya lautan biru. Gerry menarikku berlari kea rah pantai dan bermain air disana. Hangatnya air di sore hari, sejuknya udara membuat suasana semakin menyenangkan.
“Kita harus ada disini sampai matahari terbenam.” Aku mulai berbicara.
“Setuju. Dan ini.” Gerry mengeluarkan ponselnya dan mulai membalikkan ponselnya. Camera digunnakkan.
“Satu.. dua.. tiga..” Gerry hanya merangkulku dan mulai berfoto.
“Kita hrus banyak punya kenangan untuk menutupi semua masalah yang ada di antara kita.” Gerry berkata dengan semangat.
“Benar, lebih baik kita lupakan semuanya.” Aku mulai menanggapi.
“Kita resmi ya?” Gerry hanya bertanya singkat. Aku mengangguk pelan sambil tersenyum. Kami berlari mengejar saru sama lain di pinggir pantai dengan senangnya. Sementara itu di teras hotel, terlihat Jenna yang sedang mengamati kami sambil tersenyum. Jenna keluar dari hotel menghampiri kami.
“Bukankah terasa menyenangkan seperti ini?” Jenna mulai berbicara.
“Jenna, aku cinta kamu!” aku langsung memeluk Jenna.
“Apaan kamu ini?” Jenna menyiramku dengan air dan kami mulai terus bersenang – senang.
            Matahari terbenam semakin dalam. Langit mulai semakin gelap. Udara mulai tak menentu. Semakin dingin menusuk kulit. Aku terus mengusap –usap lenganku. Udara dari mulutku terlihat begitu jelas. Jenna yang tadi berada bersama kami kembali ke dalam kamar begitu ada client-nya yang menelepon.
“Kamu kedinginan?” Gerry bertanya sambil melepasakan suit-nya.
“Tidak, kamu nanti yang semakin kedinginan. Pakailah lagi.” Aku menolak dan membantu Gerry memakai lagi suit-nya.
“Masuklah ke dalam, udara semakin dingin. Mandilah dengan air hangat. Jangan terlalu lama berndam, kamu bisa pingsan. Kita makan malam bersama.” Gerry membantuku berdiri. Kami berjalan menuju hotel. Tadinya Gerry hanya menggandengku dengan erat. Lama – lama, Gerry merangkulku seakan – akan mendekapku begitu dalam.
“Tubuhmu begitu kecil. Tapi, benar – benar nyaman kupeluk.” Gerry berkata sambil tertawa kecil.
“Kamu ini.” Aku hanya menjawab pelan. Kami masuk ke kamar kami masing – masing, aku bersiap untuk makan malam. Terlihat Jenna di dalam kamar telah siap dengan dress berwarna hitamnya, dan dengan blazer layer renda berwarna hitam. Heels yang digunakannya pun ber-layer renda. Sangat serasi.
“Apa yang akan kugunakan, ya?” Aku bertanya kepada diri sendiri tapi dibalas oleh Jenna.
“Hanya gunakan yang simple kamu sudah terlihat begitu cantik.” Jenna menjawab.
“Bisa saja. Sudahlah aku hanya akan memakai dress toscha ini.” Aku menanggapi sambil mengambil dress itu.
“Duduklah disini.” Jenna memundurkan kursi meja rias dan memegang alat pelurus rambut.
“Untuk apa?” aku bertanya.
“Aku ingin sesekali merubah rambut keritingmu itu. Tenang saja alat ini sudah lebih baik dari alat lain. Tidak akan terlalu merusak rambutmu.” Jenna melanjutkan. Selagi aku berdandan tipis, Jenna terus merapikan rambutku. Dan, hasilnya benar – benar mengagumkan. Rambutku menjadi benar – benar lurus dan panjang.
“Terima kasih, Jenna.” Aku berisik pelan ke Jenna.
“Keluarlah.” Jenna mendorongku keluar kamar dan melihat Gerry dengan suit putihnya. Gerry hanya memandangiku tanpa mengeluarkan kata – kata sedikit pun.
“Baiklah, akan kusimpulkan, aku terlihat aneh.” Aku hanya membalik badan ingin kembali ke kamar dan mengembalikan rambutku. Gerry malah memelukku dari belakang.
“Cantik.” Gerry mengucapkan satu kata sambil tersenyum.
“Benarkah?” aku bertanya balik.
“Benar – benar cantik.” Gerry segera menyilakkan rambutku dan menggandengku menuju lift untuk turun menuju ke restoran.
“Akan kemana kita?” aku bertanya sambil mengambil ponselku.
“Lihat saja nanti.” Gerry menjawa singkat.
“Boleh minta tolong?” aku bertanya setelah memegang ponselku.
“Boleh saja. Apa itu?” Gerry menawarkan.
“Foto aku. Aku ingin melihat seperti apa tampaknya.”
“Fotolah berdua, saat makan malam nanti, aku yakin kamu akan benar – benar senang berfoto disana.” Gerry melanjutkan sambil mengambil ponselku dan dimasukkan ke kantong bajunya. Kami berjaln menuju pantai. Dan ternyata, Gerry membawaku menuju ke kapal pesiar.
“Kita akan makan malam disini?” aku bertanya bingung.
“Tentu saja. Kamu suka, kan?” Gerry bertanya. Sejujurnya aku benar – benar alergi terlalu lama di air. Semoga saja perjalanan di air ini tidak begitu lama. Aku dapat menahannya.
“Aku suka.” Aku hanya menjawab agar tidak mengecewakan Gerry. Gerry terlihat senang dan segera menggandengku menuju meja paling depan. Makanan telah siap di atas meja dengan beberapa lilin – lilin indah menyala di tengah meja.
“Kmau siapkan ini semua?” aku bertanya pelan.
“Semua yang kamu ingin. Bahkan sebeum kamu katkan padaku, kan kukabulkan.” Gerry mengecup tanganku pelan dan terseyum manis setelah itu.
“Terima kasih ya?” aku tersenyum lagi. Rona merah wajahku tersamar dengan blush on. Untungnya. Malu pasti bila terlalu terlihat.
            Hampir kurang lebih 2jam terambang di laut, kau mulai pusing dan mual. Beberapa kali aku melihat bibirku, takut terlihat begitu pucat. Tapi, tidak kali ini. Kali ini aku benar- benar tidak tahan. Mataku seakan menutup sendiri dan semuanya terasa gelap dan hampa.
“AeRi? Bangun! Aku mohon.” Terdengar samar – samar suara Gerry dari kejauhan. Mulailah terasa angin – angin yang menusuk kulitku. Mataku mulai melihat Gerry yang panic. Aku mulai merasakan genggaman erat dari Gerry.
“Kamu sudah sadar? Syukurlah.”
“Gerry?” aku yang masih bingung hanya memanggil namanya.
“Iya, ini aku. Minumlah dulu.” Gerry membantuku bangun dan duduk untuk meminum air hangat itu.
“Dimana ini?” aku bertanya bingung.
“Ini di rumah sakit. Tadi aku benar – benar takut kamu lama sekali tidak sadar. Kamu kenapa tidak bilang padaku kalau kamu alergi laut, kan aku bisa batalkan semua.” Gerry terlihat panic lagi.
“Maafkan aku. Aku hanya tidak mau kamu kecewa. Ini hari resmi kita berdua kan?” aku memegang tangan Gerry dan tersenyum. Gerry pun tersenyum dan memelukku lega.

14
            Setelah satu minggukami putuskan untuk kembali ke Seoul. Senangnya melihat kembali kota ini. Pesawat mendarat dan hal ini membuat kami benar – benar merasa kembali. Aku segera mengaktifkan ponsel. Terlihat 2 missed call dari Michelle dan sebuah pesan darinya.
AeRi, aku benar – benar minta maaf. Perbuatanku benar – benar bodoh. Sekarang ini, aku benar – benar butuh bantuanmu. Aku ingin menarik semua sahamku yang menjerumuskanmu. Dan, mungkin aku kehilangan harga diriku untuk memohon ini. Hubungi aku begitu kamu menerima pesanku.
~Michelle~
“Baca ini.” Aku menyerahkan ponselku ke Jenna. Gerry pun segera turut membacanya.
“Apalagi yang dia mau?” Jenna menggumam kesal. Aku meraih ponselku dari tangan Gerry dan segera menghubungi sekretarisku.
“Halo, Nona Park? Bisa tolong kirimkan beberapa file mengenai perkembangan proyek dan saham yang disimpan?”
“Baiklah saya tunggu.” Aku hanya menutup telepon dan berjalan menuju keluar bandara. Telah tersedia mobil untuk menjemput kami. Kami memasuki mobil itu dan segera menuju ke rumahku. E-mail telah dikirim nona park dan aku kaget membacanya.
“Apa? Semua kembali normal. Pemegang saham mendapatkan hak mereka. Dan Michelle menjual semua sahmanya?” aku membacakan kesimpulan ke Jenna.
“Apa berarti dia bangkrut?” Jenna segera menyimpulkan singkat.
“Tidak mungkin. Konglomerat kedua di Korea adalah keluarganya.
“Coba nyalakan televise.” Gerry mengambil remote dan menggantinya ke berita.
Konglomerat kedua Korea mengalami kebangkrutan dikarenakan adanya penggelapan dana yang dialkuakn oleh salah satu putrid dari pasangan konglomerat ini. Diduga danan digunakan untuk membeli hampir 70% saham pulau Caledonia. Yang dikelola oleh salah satu putrid konglomerat keempat di Korea.
Seorang pembawa berita membawakan berita di depan kantor polisi. Terlihat Michelle yang berada dalam ruang pemeriksaan.
“Apa? Michelle?” aku kaget dan langsung meneleponnya.
“Untuk apa?” Gerry menahan ponselku dan mematikan telepon.
“Tapi, dia benar – benar kasihan. Dia juga memohon seperti tadi lewat pesan.” Aku menjelaskan singkat.
“Dia sudah benar – benar jahat, AeRi. Untuk apa?” Gerry menanggapi.
“Walaupun dia jahat, dia masih teman buatku.” Aku meneruskan. Jenna pun mengangguk mendengar alasanku.
“Semua pilihan ada padamu, AeRi. Bantu dia atau tinggalkan dia benar – benar.” Jenna melanjutkan.
“Pak, putar arah menuju kantor polisi.” Aku menyuruh supirku menuju kantor polisi.
            Sampainya di kantor polisi, wartawan penuh sesak ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Akan sulit bagiku untuk masuk, apalagi aku berkaitan langsung dengan kasus ini.
“Pakai ini.” Jenna menyodorkan kacamata hitam dan kain. Aku langsung menutupi wajahku dan masuk ke kantor polisi. Jenna dan Gerry ada di belakangku menemaiku, takut akan terjadi sesuatu. Aku memasuki kantor dengan aman. Begitu sudahm lumayan jauh, aku membuaka kain dan kacamata.
“Michelle?” aku melihat Michelle duduk dan menangis di depan meja pemeriksaan.
“AeRi?” Michelle berlari memelukku sambil menangis.
“Apa yang kamu lakukan? Hal bodoh apa, Michelle?” aku bertanya sambil ikut menangis.
“Maafkan aku sekali lagi, AeRi. Aku hanya cemburu. Benar – benar cemburu saat aku tahu kalau kamu dan Gerry kenal sajak lama. Bahkan saat aku tahu kalau Gerry hanya menyukaimu. Aku mulai melkaukan hal ini. Aku mulai meminjam uang dari bank dan menggantinya dengan uang persahaan. Sekarangm keluargaku benar – benar terpuruk. Aku pasti akan menjalankan hukumanku. Aku juga sadar aku salah. Tapi, aku mohon…” Michelle berlutut di depanku dan menangis.
“Apa yang kamu lakukan? Berdiri, Michelle.” Aku menarik tangan Michelle.
“Tidak. Aku tidak pantas memohon sambil berdiri. Aku hanya mhon, berikan keluargaku bnatuan dengan memberikan mereka pekerjaan. Jangan buat mereka berada di jalan dan aku benar – benar minta maaf.” Michelle menjelaskan dari awal hingga akhir di depan smua polisi di ruangan. Polisi – polisi maju menuju Michelle dan memborgol Michelle. Kabarnya Michelle akan ditahan selam 5 tahun dan denda sebanyak 100 juta.

15

            “Apa aku benar – benar harus melakukan ini?” aku bertanya kepada Jenna di mobil.
“Apa?” Jenna bertanya balik.
“Memberi pekerjaan. Aku tidak mungkin memberikan pekerjaan pada konglomerat. Kedudukan mereka benar – benar tinggi.”
“Tapi, ini yang Michelle mau, kan?” Gerry segera melanjutkan. Aku hanya terdiam dan kembali duduk sambil berpikir. Tak lam, aku sampai di rumah. Rumah tidak terlihat kosong. Beberapa pelayan terlihat mondar – mandir ke ruang tamu.
“Ada apa ini?” aku bertanya kepada salah satu pelayan rumah. Pelayan rumah tidak menjawab. Aku segera menuju ruang tamu bersama Gerry dan Jenna. Ternyata mereka adalah orangtua Michelle dan juga adik Michelle.
“Apa kamu benar AeRi?” ibu Michelle bertanya lembut.
“Iya, saya AeRi.” Aku segera duduk di salah satu kursi begitu juga Gerry dan Jenna.
“Kak, aku mohon, berikan kami sekeluarga pekerjaan setidaknya untuk makan kami, kak.” Adik Michelle berlutut dan memohon padaku.
“Apa yang kamu lakukan? Berdirilah, sayang.” Aku menggendong adik Michelle yang masih kecil dan memangkunya.
“Mingkin saya tidak pantas memberikan pekerjaan pada orang yang kedudukannya di atas saya. Tapi, ini permohonan Michelle. Akan kukabulkan. Mulailah besok ke Caledonia. Bekerjalah di salah satu departemen store disana. Aku kan meminta sekretarisku menjemput dan mengajari kalian.” Aku segera menyelesaikan masalah daripada berpikir lama lagi.
“Benarkah? Terima kasih banyak Nona.”
“Jangan panggil saya itu. Panggil saja nama. Anggap saya bagia keluarga anda.” Aku hanya melanjutkan sambil tersenyum.
            Senyum dan kebahagiaan menghiasi wajah keluarga itu saat keluar dari rumah. Aku pun lega begitu melihat mereka berlaku seperti itu.
“Jabatan apa yang kamu beri pada mereka?” Gerry bertanya.
“Aku menjadikan ayah Michelle menjadi direktur departemen. Dan ibu Michelle menjadi manager disana. Tak mungkin aku beri jabatan rendah untuk mereka.” Aku menjelaskan.
“Tapi, apa yang akan kamu lakukan bila mereka menjerumuskan kamu lagi?” Jenna bertanya.
“Dimana aku mempecayai apa yang seharusnya aku percaya, semua akan berjalan normal.” Aku tersenyum dan berjalan menuju ruang utama bersama Jenna dan Gerry. Kami bersama- sama merayakan kesuksesan kami ini.
“Tapi, AeRi. Ikutlah aku.” Gerry menarik tanganku dan menyuruhku masuk ke mobilnya.
“Ada apa?” aku bertanya. Tapi, Gerry hanya membalas dengan senyuman. Gerry menutup mataku dengan sapu tangannya dan mobil mulai berjalan. Tak berapa lama, mobil terhenti. Gerry menuntunku turun dan berjalan. Aku memegang sebuah pohon. Aku tahu itu pohon tanpa harus melihatnya. Tutupan mataku dibuka.
“Kamu ingat tempat ini?” ternyata Gerry membawaku menuju tempat dimana kami mengubur time capsule kami.
“Tentu saja.” Aku langsung membungkukkan badan dan menekuk lututku dan mulai menggali tanah. Aku mengeluarkan kotak hijau dan membukanya bersama Gerry.
“Kita buka kertas pertama.” Gerry mengambil kertas dengan pita ungu.
Sukses dan Sehat.
“Bodoh sekali. Siapa yang menulis ini?” aku bertanya sambil tertawa.
“Sudahlah, ini kan waktu kita masih kecil.” Gerry mengambil korek dan membakar kertas.
“Hal ini terkabul.” Aku berbicara begitu kertas mulai terbakar.
“Ini kertas kedua.” Gerry mengambil kerats lagi dengan pita kuning.
Bersama Gerry sampai kertas ini dibaca lagi.
“Ini pasti bukan tulisanku. Ternyata, kamu memang menyimpan perasaan sejak lama.” Gerry tertawa.
“Kamu ini. Yang penting terkabul.” Aku mengambil kertas dan membakarnya juga.
“Terkabul.” Gerry berkata sambil tersenyum.
“Ini kertas terakhir.” Aku langsung meraih kertas dan membukanya.
Menikahi AeRi
Sebelum aku membacanya, aku benar – benar terasa jantungku berdebar begitu kencang.
“Bacalah!” Gerry menyuruhku membacanya.
“Menikahi AeRi.” Aku membaca polos.
“Hai, kembalikan kertas itu.” Gerry yang duduk segera berdiri meraih kertas itu dariku. Aku lari dan membuat Gerry mengejarku.
“Iya, ini aku yang tulis. Aku cinta kamu.” Gerry mengucapkan sambil memelukku dari belakang dan membalikkan badanku. Gerry mencium dahiku.
“Aku juga menccintaimu.” Aku membalasnya sambil tersenyum. Gerry segera membakar kertas itu.
“Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu bakar kertas itu? Kita belum menikah!” aku menanggapi Gerry yang sedang membakar kertas.
“Kamu ini. Tenang saja, hal ini pasti terwujud.” Gerry melempar kertas itu dan kembali memelukku.
“Kamu ini benar – benar milikku, jangan pergi lagi.” Gerry berkata sambil terus mendekapku.
“Aku janji.” Aku hanya menjawab sambil tersenyum puas.
            Malam ini benar – benar terasa menyenangkan. Ternyata, benar. Apapun yang kita inginkan bila kita setia dan terus mengusahakannya dengan baik akan benar – benar menjadi baik pula. Kelicikan hanya akan menjerumuskan siapa saja yang melakukannya tanpa memandang siapapun dirimu. Berhati – hatilah, dan tetap setia. Apapun yang kamu mau akan kenyataan.
Terima kasih atas segalanya
            Hari bahagia AeRi dan Gerry 17 Januari 2011.




  

2 komentar:

  1. baru aq ya yg comment??????

    cerita nya bagus!!!!!!!
    tpi sayang kepanjangan,
    coba d buat b'brapa part ja.........
    pasti tambah bagus....
    ^__^

    BalasHapus